Faktorfaktornya adalah sebagai berikut: Perbedaan budaya, bahasa, agama, suku, ras dan lain-lain. (lihat di: contoh asimilasi) Sifat sosial manusia yang mendorong antar individu manusia saling berinteraksi dan bergaul. Kecenderungan manusia untuk selalu berubah, sehingga mudah menerima hal baru dari budaya lain.
KebudayaanJawa : Jenis, Contoh dan Sejarahnya. Kebudayaan Jawa merupakan hasil pemikiran orang Jawa yang dituangkan menjadi tradisi yang terus dipertahankan hingga saat ini. Kebudayaan Jawa secara garis besar terbagi menjadi tiga kebudayaan yang meliputi kebudayaan Jawa Tengah, kebudayaan D.I. Yogyakarta, dan kebudayaan Jawa Timur.
RumahAdat Bangka Belitung Lengkap Gambar Dan Penjelasannya. Rumah Adat Bangka Belitung - Setiap propinsi di negara Indonesia ini tentu memiliki adat istiadat dan juga kebudayaan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Begitu juga dengan daerah Bangka Belitung yang merupakan provinsi yang terletak di wilayah Propinsi Sumatera bagian Timur.
Gunungndesa dadi reja, Dene ora ilang nggone padha lara lapa. 2. Suwe Ora Jamu. Lagu Daerah Yogyakarta selanjutnya berjudul Suwe Ora Jamu, yang diciptakan oleh R.C. Hardjosubroto. Lagu ini mengandung dua makna yang berbeda. Biasanya dinyanyikan oleh anak-anak, namun saat ini juga dinyanyikan oleh orang dewasa.
Sukubangsa di indonesia berdasarkan Provinsi beserta gambar ciri khas dan penjelasannya : Selain itu, suku Jawa di Yogyakarta ini juga masih mempercayai hal-hal mistis serta kesakralan adat budayanya. Kode Alam Daging Lengkap 2D 3D4D; Soal Seni Budaya Kelas 12 Semester 1 Kurikulum 2013; 1 Galon Berapa Liter;
soal matematika kelas 1 sd kurikulum merdeka.
Mengenal Pakaian Adat Daerah Istimewa Yogyakarta Beserta Gambar dan Keunikannya – Yogyakarta adalah provinsi di Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan, mulai dari kearifan lokalnya hingga pakaian adatnya. “Jogja istimewa” bukan hanya istilah, karena memang betul Jogja sangat istimewa baik dari segi budayanya, alamnya yang indah, keramahan warganya hingga sejarahnya. Yogyakarta memiliki banyak julukan mulai dari Kota Pelajar, Kota Wisata, Kota Perjuangan, Kota Gudeg, Kota Berhati Nyaman, Kota Murah Meriah, Kota Seniman dan banyak lagi. Dan mari hari ini kita membahas tentang pakaian adat Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki keunikan dan ciri khas budaya Yogyakarta. Pakaian Adat Daerah Istimewa YogyakartaDaftar IsiPakaian Adat Daerah Istimewa YogyakartaMengenal Nama Pakaian Adat Yogyakarta1. Pakaian Adat Surjan Yogyakarta2. Pakaian Adat Kebaya Yogyakarta3. Pakaian Adat Sabukwala4. Pakaian Adat Peranakan5. Pakaian Adat Kasatrian Ageng6. Pakaian Adat Paes Ageng Jangan Menir Daftar Isi Pakaian Adat Daerah Istimewa Yogyakarta Mengenal Nama Pakaian Adat Yogyakarta 1. Pakaian Adat Surjan Yogyakarta 2. Pakaian Adat Kebaya Yogyakarta 3. Pakaian Adat Sabukwala 4. Pakaian Adat Peranakan 5. Pakaian Adat Kasatrian Ageng 6. Pakaian Adat Paes Ageng Jangan Menir farhanabas Sebagai warga negara Indonesia, sepatutnya kita bangga karena Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang hingga kini tetap dijaga dengan sangat baik. Ada banyak sekali yang dapat dibahas tentang Jogja. Yogyakarta kaya akan budaya, sejarah, tempat wisata, kuliner yang khas dan banyak lagi. Kali ini, Mamikos ingin sekali membahas Jogja dari Pakaian adatnya yang pastinya memiliki keunikan dan ciri khas budaya Yogyakarta. Lalu apa saja sih keunikan yang dimiliki pakaian adat Daerah Istimewa Yogyakarta? Yuk mari simak penjelasan kami dibawah ini. Mengenal Nama Pakaian Adat Yogyakarta Seperti yang kita tahu bahwa pakaian adat adalah pakaian tradisional yang dikenakan dalam kehidupan sehari-hari atau pakaian tradisional yang dikenakan pada acara-acara tertentu seperti pernikahan, upacara keagamaan dan lain sebagainya. Di era modern ini, pakaian adat umumnya tidak digunakan untuk pakaian sehari-hari, karena masyarakat lebih suka memakai pakaian modern. Meskipun begitu, masih banyak daerah di Indonesia yang warganya masih tetap menggunakan pakaian adatnya untuk pakaian keseharian, misalnya suku Baduy yang menggunakan pakaian adatnya untuk pakaian sehari-hari. Dan masyarakat di beberapa wilayah Yogyakarta juga masih ada yang memakai pakaian adat sebagai pakaian keseharian mereka, khususnya di desa-desa Yogyakarta. Pakaian adat Yogyakarta memiliki keunikan tersendiri, mulai dari penanda status sosial, simbol adat istiadat hingga identitas suku Jawa yang mana masyarakat Yogyakarta adalah suku Jawa. Pakaian adat Yogyakarta tidak hanya dipakai pada acara-acara tertentu saja, pakaian adat juga menjadi pakaian dinas di keraton Jogja. Para abdi dalem menggunakan pakaian adatnya setiap hari. Tidak jarang juga, pakaian adat Jogja dikenakan oleh pemandu wisata di Jogja misalnya saja di tempat wisata pengelaran budaya, keraton Yogyakarta, destinasi candi-candi di Jogja hingga tempat-tempat bersejarah. Yogyakarta menjadi daerah yang memiliki banyak pakaian adat. Pakaian adat Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi menjadi 3 jenis. Yaitu pakaian adat untuk sehari hari, pakaian upacara adat serta pakaian adat upacara pernikahan. Berikut nama-nama pakaian adat Daerah Istimewa Yogyakarta Pakaian Adat Surjan Yogyakarta Pakaian Adat Kebaya Yogyakarta Pakaian Adat Sabukwala Pakaian Adat Peranakan Pakaian Adat Kasatrian Ageng Pakaian Adat Paes Ageng Jangan Menir Pakaian Adat Paes Ageng Kebesaran 1. Pakaian Adat Surjan Yogyakarta Pakaian adat Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama adalah Surjan yang merupakan pakaian tradisional yang dipakai untuk sehari-hari. Surjan adalah pakaian tradisional Yogyakarta yang sangat khas dengan motifnya dan bentuk pakaiannya. Surjan sendiri terbagi menjadi 3 jenis yaitu Surjan Lurik, Surjan Ontokusumo dan Surjan Jaguar. Dan Surjan yang paling populer adalah Surjan Lurik, yang mana Surjan Lurik menjadi pakaian yang dikenakan oleh Sunan Kalijaga yang menggambarkan kesederhanaan. Dan untuk pelengkapnya, Surjan dipadukan dengan bawahan kain jarik dan penutup kepala berupa blangkon. 2. Pakaian Adat Kebaya Yogyakarta Kebaya Yogyakarta merupakan pakaian tradisional yang dikenakan oleh kaum wanita Yogyakarta untuk kegiatan sehari-hari. Dipadukan dengan kain batik atau kain jarik sebagai bawahan serta rambut yang ditata menjadi konde. Meskipun di daerah lain di Indonesia juga terdapat pakaian adat Kebaya, namun kebaya Jogja memiliki ciri khas dan keunikannya tersendiri. Yaitu berupa busana blus tipis yang dikenakan untuk menutupi kemben. Kebaya Yogyakarta memiliki makna filosofi yaitu simbol dari cerminan perilaku wanita Yogyakarta yang lemah lembut. 3. Pakaian Adat Sabukwala Pakaian adat Sabukwala adalah pakaian yang dikenakan oleh anak perempuan untuk acara upacara adat tetesan yakini sunatan anak perempuan. Baju adat Sabukwala terdiri dari kain cindhe, ikat pinggang yang disebut bludiran, lonthong dan slepe. Untuk mempercantik pakaian adat ini ditambah dengan aksesoris seperti gelang kana, subang, serta kalung susun. 4. Pakaian Adat Peranakan Jika kamu pernah melihat pakaian abdi dalem keraton Yogyakarta, itu adalah pakaian adat Yogyakarta yang disebut sebagai Peranakan. Pakaian adat Peranakan adalah pakaian abdi dalem untuk kaum laki-laki. Yang ana pakaian ini digunakan sebagai pakaian dinas keraton Yogyakarta. Pakaian adat Peranakan Terdiri dari atasan kain lurik dengan warna hitam atau biru tua yang bermotif garis telupat. Sedangkan untuk bawahan terdiri dari kain jarik sinjang, bebed dan nyamping yang bermotif batik Jogja. Nah untuk aksesoris kepala, seorang abdi dalam diharuskan menggunakan blangkon yang menjadi ciri khas Yogyakarta. 5. Pakaian Adat Kasatrian Ageng Selain pakaian adat Yogyakarta yang dikenakan dalam kehidupan sehari-hari, Yogyakarta juga memiliki pakaian adat khusus untuk upacara pernikahan. Yakini pakaian adat Kasatrian Ageng. Selain menjadi pakaian adat pengantin Jogja, Pakaian Kasatrian Ageng juga dikenakan pada acara upacara adat malam selikuran. Pakaian adat yang dikenakan oleh pengantin pria berupa kain batik prada dengan motif khas Jogja yakini sidoasih dan sidoluhur. Kain batik ini merupakan pakaian adat untuk bahwan sang pengatin pria. Sementara untuk baju atasannya, pengantin pria mengenakan Surjan sutra yang bermotif daun maupun bunga. Dilengkapi dengan ikat pinggang keris, timang kretep serta kuluk kanigara hitam. Untuk aksesorisnya sendiri berupa bros, rantai, korset, serta keris. Sementara untuk pengantin wanita mengenakan kebaya kutu baru panjang berbahan sutra untuk baju atasan. Dihiasi juga dengan 3 bros sebagai penutup kancing dan untuk mempercantik penampilan. Untuk pakaian bawahnya mengenakan kain batik yang motifnya sama dengan kain batik yang dikenakan oleh pengantin pria. Aksesoris yang dikenakan oleh pengantin wanita ialah kalung, giwang, gelang dan cincin. Untuk hiasan kepalanya ditambahkan dengan kembang goyang atau mahkota khas Yogyakarta. 6. Pakaian Adat Paes Ageng Jangan Menir Yogyakarta juga memiliki pakaian adat pernikahan lainnya yakini Pakaian Adat Paes Ageng Jangan Menir. Pada zaman dulu, pakaian adat ini digunakan untuk acara adat boyong yaitu pern dari keraton menuju ke kediaman pengantin pria. Namun pakaian adat ini juga dikenakan pada upacara adat panggih. Pakaian Adat Paes Ageng Jangan Menir yang dikenakan oleh pengantin pria berupa blenggen, kain chinde kembaran, ikat pinggang, ikat pinggang, kamus bludiran, kuluk kanigara dan senjata tradisional keris branggah. Llu aksesoris yang dikenakan oleh gantin pria adalah 3 buah bros, kelat bahu motif ular naga, oncen, karset, gelang kana, kalung susun tiga khas Yogyakarta dan cincin. Sedang pakaian untuk pengantin wanita berupa kain chinde untuk kemben, baju blenggen beludru panjang, kain biasa dengan warna senada dengan kemben, baju blenggen tanpa kuthu baru, slepe, slepe dan udhet Untuk aksesoris yang digunakan terdiri dari kalung susun tiga, kelat bahu motif ular naga, sengkang royok, gelang kana dan cincin. Pakaian Adat Paes Ageng Kebesaran Pakaian adat Yogyakarta yang dikenakan dalam acara pernikahan adalah pakaian adat Paes Ageng Kebesaran. Pakaian pernikahan yang dikenakan oleh mempelai pria berupa kain kampuh yakini sebuah kain bermotif batik sidomukti yang memiliki panjang 4 meter yang itkan pada padan pengantin pria. Selain itu, mempelai pria juga mengenakan celana dhe, lhontong atau sabuk, ikat pinggang bordir, timang kreteb, buntal, kuluk kanigara polos dengan warna biru, mogo dan keris branggah, Dan untuk aksesorisnya sendiri terdiri dari gelang kana, kelat bahu, cincin, subang ronyok, korset dan kalung susun tiga. Sedangkan pakaian yang dikenakan oleh pengantin wanita adalah kain kampuh sebagai busananya, slepe, udhet cindhe serta kain cindhe. Untuk aksesoris yang dikenakan terdiri dari sengkang ronyok, gelang kana, kalung susun tiga, kelat bahu, dan cincin. Demikianlah pembahasan tentang rumah adat khas Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika kamu ingin mengetahui pakaian adat dari daerah lain, kamu bisa mengunjungi halaman blog Mamikos. Di sana tersedia berbagai informasi seperti rumah adat dan pakaian adat suatu daerah di Indonesia. Klik dan dapatkan info kost di dekat kampus idamanmu Kost Dekat UGM Jogja Kost Dekat UNPAD Jatinangor Kost Dekat UNDIP Semarang Kost Dekat UI Depok Kost Dekat UB Malang Kost Dekat Unnes Semarang Kost Dekat UMY Jogja Kost Dekat UNY Jogja Kost Dekat UNS Solo Kost Dekat ITB Bandung Kost Dekat UMS Solo Kost Dekat ITS Surabaya Kost Dekat Unesa Surabaya Kost Dekat UNAIR Surabaya Kost Dekat UIN Jakarta
Yogyakarta atau "Jogja" merupakan sebuah kota kecil di sebelah selatan Pulau Jawa yang berpredikat kota pelajar. Selain menyandang predikat kota pelajar, Yogyakarta juga pantas disebut sebagai kota budaya karena masyarakat di kota ini masih sangat menjunjung tinggi adat dan budaya yang mereka miliki. Berbagai ragam kesenian tradisional masih terus digelar dan dilestarikan oleh seniman-seniman di Provinsi Yogyakarta ini. Kesenian khas yogyakarta tidak hanya ditampilkan pada hari-hari tertentu saja. Namun, masih banyak kesenian-kesenian khas yang ditampilkan oleh masyarakat Yogyakarta untuk memeriahkan berbagai upacara adat, seperti pernikahan, khitanan, kelahiran, dan upacara adat lainnya. Kesenian Tradisional Yogyakarta Berikut ini beragam kesenian khas yogyakarta yang dikenal oleh masyarakat Yogyakarta serta penjelasannya. 1. Wayang Kulit Wayang kulit merupakan kesenian tradisional yang sudah berusia ratusan tahun. Dalam pertunjukan wayang kulit, penonton dapat menyaksikan dari arah depan atau dari arah belakang. Dari belakang, penonton akan melihat bayang-bayang wayang dari dalam kelir tirai kain putih untuk menangkap bayang-bayang wayang kulit. Bayang-bayang inilah yang mungkin menjadi cikal bakal lahirnya istilah wayang yang berarti bayang-bayang. Selain itu bayang-bayang ini ditafsirkan bahwa cerita dalam pewayangan mencerminkan bayang-bayang kehidupan manusia di dunia. Wayang kulit gaya Yogyakarta mempunyai tampilan fisik yang berbeda dengan wayang dari daerah lain. Perbedaannya terletak pada beberapa hal; wayang gaya Yogyakarta terkesan dinamis atau terlihat bergerak, ditandai dengan tampilan posisi kaki yang melangkah lebar seperti orang yang sedang melangkah; tampilan bentuk luarnya lebih tambun dan tidak terkesan kurus; tangannya sangat panjang hingga menyentuh kaki; serta tatahannya inten-intenan, terutama pada pecahan uncal kencana, sumping, turido, dan bagian busana lainnya. Dilihat dari sunggingannya lukisan/ perhiasan yang diwarnai dengan cat, digunakan sunggingan tlacapan atau sunggingan sorotan, yaitu unsur sungging yang berbentuk segitiga terbalik yang lancip-lcncip seperti bentuk tumpal pada motif kain batik; dan di bagian siten-siten atau lemahan, yaitu bagian di antara kaki depan dan kaki belakang, umumnya diberi warna merah. Untuk mengetahui wayang gaya Yogyakarta, ditentukan dari jenis mata wayang. Bentuk hidung wayang, mulut wayang, bentuk mahkota, jenis pemakaian kain dodot dan posisi kaki, serta atribut lainnya merupakan beberapa atribut yang perlu diperhatikan untuk mengenal wayang Yogya. 2. Wayang Wong Sesuai dengan namanya, kesenian ini menggunakan wong orang sebagai pemainnya. Wayang wong berbeda dengan wayang kulit yang menggunakan wayang dari kulit sebagai alat peraganya. Wayang wong adalah suatu seni drama yang menggabungkan antara seni dialog dan seni tembang. Wayang wong pertama kali diciptakan oleh Mangkunegara I yang berkuasa dari tahun 1757 sampai tahun 1795. Pemain-pemain wayang wong adalah para abdi dalem keraton sendiri. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V, pada tahun 1881, pagelaran wayang wong semakin hidup dan dianggap sebagai hiburan. Selanjutnya wayang wong berkembang menjadi wayang wong gaya Surakarta dan wayang wong gaya Yogyakarta. Wayang wong gaya Yogyakarta pertama kali muncul pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwo no VII yang bertakhta dari tahun 1878 sampai tahun 1921. Dahulu kala, wayang wong hanya dipentaskan di lingkungan keraton, yaitu di Baluwerti. Para pemainnya adalah pangeran dan keluarga keraton sen- diri. Kesenian ini merupakan ajang ekspresi kehalusan budi, keterampilan tari, dan bela diri. Semua pemainnya laki-laki. Bahkan, tokoh wanita pun dimainkan oleh laki-laki. Perbedaan antara wayang wong gaya Surakarta dan Yogyakarta terletak pada penggunaan kethok dan kecrek serta dalang untuk suluk nyanyian atau tembang dalang yang dilakukan ketika akan memulai adegan di pertunjukan wayang dan menceritakan adegan yang silih berganti untuk gaya Surakarta. Adapun gaya Yogyakarta hanya menggunakan keprak bunyi-bunyian pengiring gerakan serta pembaca kandha yang bukan merupakan dalang. Pada gaya Surakarta, cengkok atau lagu percakapan nampak lembut merayu, sedangkan gaya Yogyakarta terlihat datar dan melankolik. Dalam gaya Surakarta, tarian terlihat luwes sedangkan dalam gaya Yogyakarta tarian tampak lebih gagah, trengginas lincah, dan memikat. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V 1822-1855 dipergelarkan tidak kurang lima cerita, yakni Pragolomurti, Petruk Dadi Ratu, Rabinipun Angkawijaya, Joyosemadi, dan Pregiwo-Pregiwati. Pada periode pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII 1877-1921 hanya dua kali pementasan dengan lakon Sri Suwela dan Pregiwo-Pregiwati. Wayang wong mencapai popularitasnya pada saat Sri Sultan HB VIII berkuasa. Pada masa itu digiatkan pembaruan dan penyempurnaan besar-besaran pada tata busana, teknik, ragam gerak tari, dan kelengkapan pentas. Proyek ini melibatkan empu tari KRT Joyodipuro, KRT Wiroguno, GPH Tejokusumo, KRT Wironegoro, BPH Suryodiningrat, dan KRT Purboningrat. Selama periode 1921- 1939 ini tidak kurang 20 lakon wayang wong dipentaskan. 3. Ketoprak Surakarta tahun 1898. Wabah pes merajalela dan meminta banyak korban jiwa. Banyak orang yang dirawat dibarak-barak darurat. Untuk menghibur rakyat yang sedang menderita, KRT Wreksadiningrat segera mengerahkan para abdi untuk merawat dan mempersembahkan hiburan kesenian. Mereka membawa lesung untuk ditabuh disertai dengan tarian dan nyanyian. Beberapa seniman mengembangkan ketoprak lesung tersebut dengan menambah instrumen musik, seperti siter alat musik petik yang berdawai, bentuknya menyerupai kecapi Sunda, gender gamelan Jawa yang dibuat dari bilah bilah logam berjumlah empat belas dengan penggema dari bambu, kendang dan genjring rebana kecil yang dilengkapi dengan kepingan logam bundar pada bingkainya. Mereka mulai manggung di luar tembok keraton dengan memakaı kostum ala Turki atau Arab dan mengambil cerita rakyat Jawa. Dialognya dinyanyikan sambil menari. Ketoprak lesung dari Solo untuk pertama kalinya dipentaskan di Yogyakarta pada tahun 1900, yaitu sebagai hiburan dalam rangka memeriahkan perkawinan agung KGPAA Paku Alam VII dengan RA Puwoso, putri Sunan Pakubuwono X. Sejak saat itu ketoprak berkembang di Yogyakarta. 4. Dagelan Mataram Dagelan Mataram adalah pertunjukan humor atau lawak yang dialognya menggunakan bahasa Jawa. Kesenian ini berkembang di wilayah Yogyakarta. Jenis lawakan ini populer di Yogyakarta sekitar tahun 1950-an. Cerita yang dipentaskan dalam dagelan Mataram biasanya cerita sederhana dan dekat dengan kehidupan masyarakat desa. Misalnya, konflik rumah tangga yang kemudian dapat diselesaikan secara adil. Intrik-intrik dalam konflik itulah yang dibumbui dengan dagelan segar. Makna dibalik dagelan sederhana itulah yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Melalui dagelan, kritik atas sesuatu yang melenceng dapat diungkapkan tanpa menyinggung perasaan seseorang. Di tahun 70-an dikenal pemain dagelan Mataram yang cukup populer, yaitu Basıyo. Beberapa kaset dagelannya beredar di masyarakat, seperti Besanan, Dadung Kepuntir, Degan Wasiat, Gatutkaca Gandrung, Kapusan, Maling Kontrang-Kantring, mBecak, mBlantik Kecelik, Midang, Ngedan, Pangkur Jenggleng, dan Gandrung. Bersama sang istri, Darsono, dan Arjo, Basiyo mengemas dagelan Mataram menjadi segar dan kocak. Di era 1990-an, dagelan Mataram mulai menghilang dari masyarakat. Kesenian jenaka ini tergeser oleh jenis kesenian lain yang lebih baru semisal campursari dan dangdutan. 5. Wayang Beber Pertunjukan wayang beber dilakukan dengan pembacaan cerita atau gambar yang melukiskan kejadian atau adegan yang terlukis pada kertas. Pada saat ini, pertunjukan wayang beber dapat dikatakan sudah punah karena lukisan mengenai wayang tersebut tidak dibuat lagi. Wayang beber termasuk wayang yang paling tua usianya. Ia berasal dari masa akhir zaman Hindu di Jawa. Pada mulanya, wayang beber berkisah tentang cerita Mahabharata kemudian beralih ke cerita Panji dari Kerajaan Jenggala pada abad XI dan mencapai jayanya pada zaman Majapahit sekitar abad XIV-XV. Ketenaran wayang ini memudar sejak zaman Mataram. Salah satu wayang beber yang tersisa ditemukan di Desa Gelaran, Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul, yang terletak 47 km sebelah tenggara kota Yogyakarta. Wayang beber tersebut dinamai wayang beber Kyai Remeng, milik Ki Sapar Kromosentono yang merupakan ahli waris ketujuh. Menurut cerita rakyat di sana, wayang beber tersebut dibuat dalam rangka peringatan tujuh bulan dalam kandungan Sultan Hadiwijaya 1546-1586 yang terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir. Di Jawa dinamakan mitoni. Setelah Jaka Tingkir dinobatkan sebagai raja Pajang, Kyai Remeng dijadikan pusaka kerajaan dan kemudian diwariskan ke Mas Ngabehi Saloring Pasar yang bergelar Panembahan Senopati, putra angkatnya. Di kemudian hari Kyai Remeng menjadi pusaka Keraton Mataram. Hingga saat ini, wayang beber Kyai Remeng dianggap sebagai benda pusaka oleh keluarga Ki Sapar Kromosentono. Setiap malam Jumat, benda keramat ini diselamati dengan sesaji. 6. Tayub Tayub berasal dari kata mataya yang berarti tarian dan guyub yang berarti rukun. Jika digabungkan berarti tarian kerukunan atau tarian persahabatan. Di Yogyakarta juga ada semacam tayub yang disebut beksan pangeranan. Seorang penari bisa ditemani seorang teledek atau beberapa teledek secara bersamaan. Saat gamelan berhenti, baru minuman disajikan. DahuIukala, tarian tayub hanya dilakukan oleh kerabat bangsawan yang memang telah mahir menari. Disebutkan dalam Serat Centhini, pada awal abad XIX putra Sunan Giri III melakukan pengembaraan ke seantero Jawa. Waktu tiba di Desa Kepleng, ia menyaksikan penduduk gemar bermain tabuh-tabuhan dan dilanjutkan dengan tayuban dengan perempuan bernama Gendra. Dalam membawakan tarian, Gendra begitu memukau penonton sehingga merangsang mereka untuk menari bersamanya. Akibat mereka saling berebut untuk bisa menari bersama Gendra, tidak jarang terjadi ketegangan, percekcokan, dan bahkan perkelahian. Gendra memang berarti si pembuat onar. Tayub yang berkaitan dengan ritus kesuburan masih ada di daerah Semin, Gunung Kidul. Tayub diadakan dalam rangka perayaan datangnya Dewi Sri, dewi kesuburan. Awalnya teledek menari dengan diiringi gending Sri Boyong, agar Dewi Sri hadir di antara mereka untuk melindungi petani dari segala hama tanaman. Kemudian dilanjutkan dengan gending Sri Katon untuk menghormati Dewi Sri yang sudah hadir di antara mereka. Setelah gending Rujak Jeruk, maka para penonton bersuka cita menari bersama teledek.
Rumah Adat Yogyakarta – Yogyakarta merupakan wilayah yang kaya akan budaya, dimana budaya yang ada tidak akan pernah lepas dari sisi keindahannya. Salah satunya adalah rumah adat Yogyakarta yang bernama Bangsal Kencono, dimana rumah ini merupakan sebuah bangunan keraton Yogyakarta yang kata akan keunikan dan juga keindahan. Agar kita lebih mengenal rumah adat Yogyakarta Bangsal Kencono, yuk simak penjelasanya dibawah ini! Rumah Adat Bangsal Kencono Gambar Rumah Adat Bangsal Kencono Rumah adat Yogyakarta Bangsal Kencono merupakan rumah adat yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I, tepatnya pada tahun 2757 Masehi dan digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan berbagai acara keagamaan dan juga kesultanan. Seperti misalnya apabila ada seseorang sultan yang akan naik tahta, maka upacara kesultanan akan dilakukan di rumah Bangsal Kencono ini. Rumah adat Bangsal Kencono adalah rumah adat yang berbentuk joglo dan dijadikan sebagai bangunan khas dari Keraton Yogyakarta. Dimana rumah ini mempunyai ukuran yang begitu besar dengan desain arsitektur yang masih mendapat pengaruh dari berbagai negara, diantaranya adalah Belanda, Portugis, hingga Cina. Tetapi, secara keseluruhan pengaruh budaya Jawa lah yang masih mendominasi bangunan dari rumah adat bangsal kencono ini Ciri Khas Rumah Bangsal Kencono Gambar Ciri Khas Rumah Bangsal Kencono Setiap rumah adat tentunya mempunyai keunikan dan juga ciri khas yang berbeda-beda dengan rumah adat yang lainnya. Hal ini juga berlaku pada rumah adat Yogyakarta bangsal Kencono, dimana ciri khas dari rumah adat ini adalah sebagai berikut. Ukuran Rumah Adat Bangsal Kencono Apabila dilihat dari segi ukuran, maka rumah adat Yogyakarta bangsal Kencono ini tentunya akan berbeda-beda. Ukuran rumah ini akan disesuaikan dengan kebutuhan dari pemiliknya. Misalnya apabila rumah adat ini dibangunin dengan tujuan digunakan sebagai bangunan Yogyakarta, maka rumah akan dibangun dengan ukuran yang khas dan besar, karena harus bisa menampung tamu-tamunya istana yang jumlahnya bisa mencapai ratusan hingga ribuan. Struktur Bangunan Rumah Adat Bangsal Kencono Bentuk atap dari rumah adat Yogyakarta bangsal kencono mirip dengan rumah joglo yang menggunakan atap tajug dan ditopang dengan menggunakan empat buah tiang. Gimana tiang yang ada pada bagian tengah bangunan ini disebut sebagai Soko guru. Rumah adat bangsal kencono dibangun dengan menggunakan bahan material yang tentunya berkualitas, seperti pada bagian atap yang menggunakan genting tanah. Kenapa menggunakan genting tanah dalam membuat rumah adat ini? Ternyata hal tersebut dikarenakan genting tanah mempunyai ketahanan yang baik terhadap panas, sehingga rumah akan terasa lebih sejuk. Empat tiang penopang dari rumah adat Yogyakarta ini dibuat dengan menggunakan bahan material umpak bagi yang berwarna keemasan. Sementara untuk bagian lantai nya akan menggunakan bahan material marmer atau granit. Ornamen Rumah Adat Bangsal Kencono Rumah adat Yogyakarta bangsal kencono juga terdapat berbagai hiasan ornamen-ornamen yang unik dan akan disesuaikan dengan bagian dalam dan juga luar rumah. Apabila interior dihiasi dengan berbagai macam ukiran yang bernuansakan alam, maka area eksteriornya akan diletakkan berbagai macam pot bunga dan juga tanaman-tanaman hijau. Pada bagian halaman rumah terdapat sangkar burung yang akan semakin memperindah pemandangan. Keberadaan sangkar burung ini sebenarnya mempunyai tujuan tersendiri. Dimana filosofi dari sangkar burung yang berada di rumah adat Yogyakarta bangsal kencono mengartikan sebagai perwujudan berapa pentingnya hewan di sebuah rumah. Dalam budaya Jawa, kicauan burung merupakan pertanda akan sesuatu yang dekat dengan nuansa alam, sekaligus juga sebagai pemandu penghuninya agar senantiasa selalu menjaga kelestarian alam Bagian Utama Rumah Bangsal Kencono Gambar Bagian Rumah Bangsal Kencono Rumah adat Yogyakarta bangsal kencono mempunyai bentuk yang cukup besar dan luas, dimana tentunya di dalam rumah ini akan terdapat berbagai susunan yang tidak sedikit. Secara garis besar, rumah adat bangsal kencono terbagi menjadi 3 bagian yang berbeda, yakni bagian depan, bagian inti dan juga bagian belakang. Berikut ini merupakan penjelasan dari setiap bagian-bagiannya. Bagian Depan Rumah Bangsal Kencono Bagian depan rumah adat ini tentunya terletak pada bagian yang paling depan. Dimana bagian depan juga terdiri dari beberapa bagian kecil yang lainnya, yakni sebagai berikut. Gladhag pangurakan Bagian ini merupakan gerbang utama yang digunakan sebagai pintu masuk ke dalam istana. Dimana posisi dari Gladhag pangurakan ini menghadap ke arah alun-alun lor Keraton Yogyakarta. Alun-alun lor Keraton Yogyakarta Bagian ini merupakan sebuah lapangan luas, dimana didalamnya terdapat dua pohon beringin kembar. Alun-alun ini akan digunakan sebagai tempat untuk melakukan berbagai macam kegiatan upacara adat, baik itu upacara Sekaten, Suro dan Grebeg Merapi. Kata “lor” tersebut diartikan sebagai “Utara”. Masjid Gedhe Bagian ini merupakan bangunan berupa masjid gedhe yang digunakan sebagai tempat untuk beribadah umat Islam, terutama pada warga Keraton Yogyakarta. Letak dari ruangan ini berada di sisi barat dari alun-alun lor. Bagian Inti Rumah Bangsal Kencono Bagian inti dari rumah adat Yogyakarta ini terbagi menjadi banyak sub area dengan fungsi yang berbeda-beda. Dimana secara garis besar ruangan inti dari rumah ini mempunyai tujuh bagian, berikut ini bagian-bagiannya. Bangsal pagelaran Bagian bangsal pagelaran ini digunakan sebagai tempat para punggawa keraton Yogyakarta apabila mereka akan menemui raja, terutama pada saat upacara adat akan dilakukan Sitihinggil Bagian ini biasanya akan digunakan oleh para warga keraton Yogyakarta sebagai tempat untuk mengadakan upacara adat. Biasanya sultan akan berada pada tempat ini ketika upacara adat sedang berlangsung. Sitihinggil diambil dari kata “Siti” yang mempunyai arti “tanah” dan “Hinggil” yang mempunyai arti “tinggi”. Dimana penamaan tersebut dikarenakan ruangan ini mempunyai bagian tanah yang memang lebih ditinggikan dibandingkan dengan bagian yang lainnya lokasinya berada di sebelah selatan alun-alun lor. Kamandhungan ler Bagian ini merupakan bagian dari Siti Hinggil yang juga mempunyai berbagai bagian pendukung, seperti bangsal pancaniti, bangsal pecaosan dan juga bale anti wahana. Beberapa ada juga yang menyebut bagian ini sebagai plataran keben. Bangsal Srimanganti Tempat ini akan digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu dan juga dijadikan sebagai lokasi pementasan budaya. Dimana bangsal juga dilengkapi dengan pelataran srimanganti. Pada sisi timur bangsal srimanganti terdapat pula bangsal trajumas yang akan dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan barang pusaka milik Keraton Yogyakarta. Kedhaton Kedhaton merupakan bagian khusus yang digunakan sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan. Dimana bagian ini terdiri dari berbagai bagian lainnya yakni keputran yang digunakan sebagai tempat tinggal dari istri sultan, dan kesatria yang digunakan sebagai tempat tinggal putra raja. Kedhaton juga menjadi pusat kawasan dari rumah adat Yogyakarta bangsal kencono dan menjadi rumah dengan tingkatan paling tinggi apabila dibandingkan dengan bagian yang lainnya. Kemagangan Bagian ini biasanya dijadikan sebagai tempat untuk menerima abdi dalem, tempat belajar, tempat ujian dan juga digunakan sebagai tempat apel bagi para abdi dalem saat magang Siti Hinggil kidul Bagian ini biasanya akan digunakan sebagai tempat gladi resik upacara grebeg, tempat raja menyaksikan adu rampogan, tempat prajurit perempuan untuk berlatih dan juga dijadikan sebagai tempat prosesi awal upacara pemakaman para sultan yang akan dibawa menuju ke Imogiri. Bagian Belakang Rumah Bangsal Kencono Bagian terakhir dari rumah adat Yogyakarta adalah bagian belakang. Dimana pada bagian ini juga dibagi menjadi beberapa bagian yang lainnya. Berikut ini penjelasannya! Alun-alun kidul Alun-alun kidul berada pada bagian selatan keraton Yogyakarta. Dimana alun-alun ini juga sering digunakan sebagai pengkeran. Plengkung nirbaya Bagian ini biasanya akan dijadikan sebagai tempat poros utama untuk menuju ke tempat pemakaman Imogiri Bentuk dan Bahan Material Rumah Adat Bangsal Kencono Rumah adat Yogyakarta bangsal Kencono mempunyai bentuk atap yang menggunakan desain dari rumah joglo. Bahan yang dipakai untuk pembuatan atap ini juga berupa genteng dari tanah atau sirap. Atap dari rumah ada ini akan ditopang dengan menggunakan empat tiang yang disebut dengan Soko guru. Dimana tiang-tiang itu terbuat dari bahan kayu dan diberikan warna tambahan yakni warna hijau atau warna hitam. Sedangkan pada bagian bawahnya, tiang-tiang ini akan ditopang lagi dengan menggunakan umpak batu. Umpak batu inilah yang dinilai sangat ampuh dan juga tahan terhadap goncangan gempa. Pada bagian dinding rumah menggunakan bahan material kayu dengan kualitas yang tinggi, seperti kayu jati dan juga lagi nangka. Pemilihan kayu yang tinggi ini bertujuan agar rumah mampu bertahan lama. Sedangkan untuk bagian dari lantai rumah juga tidak lagi menggunakan bahan material kayu, melainkan menggunakan marmer atau granit. Fungsi Rumah Adat Bangsal Kencono Seperti yang sudah kita tahu, karena rumah adat ini masih berada pada kawasan keraton Yogyakarta, maka fungsi dari rumah adat ini tidak akan jauh berbeda dari kepentingan keraton. Dimana rumah ini bisa dijadikan sebagai tempat tinggal bagi para anggota keraton Yogyakarta, termasuk juga raja dan abdi keraton. Fungsi yang lainnya adalah rumah ada ini juga bisa digunakan sebagai tempat untuk pertemuan antara raja dengan tamu pentingnya. Bukan hanya itu, rumah adat ini juga bisa digunakan sebagai tempat untuk melakukan berbagai macam upacara adat dan juga upacara keagamaan. Dari beberapa fungsi di atas maka dapat diketahui bahwa rumah adat Yogyakarta mempunyai beragam fungsi, sehingga rumah adat ini termasuk ke dalam rumah adat yang serbaguna. Orang juga bertanya Apa saja rumah adat? Apa senjata tradisional Yogyakarta? Apa ciri khas rumah Yogyakarta? Penutup Demikianlah pembahasan mengenai rumah adat Yogyakarta Bangsal Kencono. Dimana pembahasan ini dimulai dari pembahasan sejarah, ciri khas, bagian utama, bentuk dan bahan material serta fungsi dari rumah adat Yogyakarta. Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan tentunya bisa menambah wawasan para pembaca dalam mengenal rumah adat Bangsal Kencono yang berasal dari Yogyakarta. Semoga tulisan ini juga dapat dipahami dengan baik. Rumah Adat YogyakartaSumber Refrensi
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kota pendidikan sekaligus dikenal sebagai kota budaya memiliki beragam kebudayaan tradisional salah satunya adalah upacara adat yang hingga saat ini masih sering dijumpai di beberapa daerah di Yogyakarta. Beberapa jenis upacara adat yang terdapat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain sebagai berikut. Upacara Adat Sekaten Setelah Raden Patah dilantlik menjadi sultan pertama Kerajaan Demak, atas anjuran Wali Sanga didirikanlah Masjid Besar Demak yang selesai dibangun pada tahun 1408. Saat itu, penyebaran agama Islam tidak banyak mengalami kemajuan. Kemudian muncul gagasan dari Sunan Kalijaga untuk menyelenggarakan keramaian menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Pada bulan Rabiulawal dibunyikanlah gamelan di halaman masjid agar rakyat mau masuk ke kompleks Masjid Besar. Sejak seminggu sebelum peringatan Maulid, diselenggarakan keramaian. Secara terus-menerus gamelan ditabuh disertai dengan dakwah agama. Beberapa lagu gamelan digubah oleh Sunan Giri dan Sunan Kalijaga. Mendengar bunyi gamelan yang merdu, rakyat berbondong-bondong menyaksikan dari dekat. kemudian menuju pelataran masjid. Para wali memanfaatkan keramaian tersebut sebagai ajang berdakwah tentang keluhuran agama Islam. Banyak yang tertarik dan kemudian masuk Islam. Mereka yang masuk Islam diwajibkan mengucapkan dua kalimat syahadat, istilah Arabnya adalah syahadatain. Lidah orang Jawa mengucapkannya sebagai sekaten. Orang yang telah mengucapkan syahadat berarti sudah resmi masuk Islam dan untuk menyempurnakan keislamannya lalu disunat. Pada malan 12 Rabiulawal, Sultan keluar dari keraton menuju Masjid untuk mendengarkan riwayat hidup Nabi. Pada tengah malam, Sultan kembali ke keraton beserta gamelan sekaten pertanda berakhirnya perayaan sekaten. Pada pemerintahan Sultan Agung, tradisi garebeg mulud disertai pisowanan garebeg di Sitihinggil. Acara tersebut diakhiri dengan wilujengan nagari berupa sesajian gunungan untuk kenduri di Masjid Agung. Sedekah dari raja untuk rakyat berupa gunungan inilah yang kemudian menjadi rebutan masyarakat karena dipercaya dapat digunakan sebagai tolak bala agar hasil pertanian tidak diserang hama penyakit. Selain garebeg mulud diadakan pula garebeg syawal untuk merayakan Idul Fitri dan garebeg besar untuk merayakan Idul Adha. Tradisi perayaan sekaten ini ditetapkan menjadi tradisi resmi sejak kerajaan pindah dari Demak ke Pajang, dari Pajang pindah ke Mataram, lalu ke Surakarta dan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I, ditabuhlah dua gamelan sekaten, yaitu Kyai Gunturmadu yang bermakna anugerah yang turun ditempatkan di bangsal Pagongan Selatan dan Kyai Nogowilogo yang bermakna lestari dan menang perang ditempatkan di bangsal Pagongan Utara. Upacara Adat Labuhan Dalam kepercayaan Jawa, setiap tempat mempunyai penguasa gaib berupa makhluk halus penunggu. Gunung Merapi yang terletak di utara Kota Yogyakarta diyakini ditunggu oleh makluk halus bernama Eyang Sapujagad. Samudra Indonesia yang biasa disebut Laut Selatan terletak di selatan Kota Yogyakarta ditunggu oleh wanita cantik jelita bernama Kanjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati sebagai raja Mataram berupaya menjaga keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ia menjalin komunikasi dengan kedua makhluk halus tersebut. Salah satu bentuk komunikasinya adalah dengan bersemadi di tempat-tempat tersebut. Ketika Panembahan Senopati merasa sudah saatnya mengambil alih kekuasaan Kerajaan Pajang, ia bertapa di Laut Selatan. Sementara itu, pamannya, yaitu Ki Juru Mertani, bertapa di Gunung Merapi. Untuk menghormati ikatan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram penerus Panembahan Senopati, maka setiap tahun diadakan labuhan di Pantai Parangtritis. Jika kewajiban itu diabaikan, terdapat kepercayaan bahwa Kanjeng Ratu Kidul akan murka dengan mengirim tentara jin untuk menyebarkan penyakit dan berbagai musibah yang akan menimbulkan malapetaka bagi rakyat dan kerajaan. Namun, jika labuhan tetap dilaksanakan, maka Kanjeng Ratu Kidul akan memberikan perlindungan dan bantuan ke Mataram. Labuhan ini sudah menjadi upacara adat Keraton Mataram sejak abad ke XVII. SeteIah Perjanjian Gianti tahun I755 yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan KesuItanan Yogyakarta, maka tradisi labuhan dilakukan oleh dua kerajaan Jawa tersebut. Labuhan pertama kali di Kesultanan Yogyakarta diadakan sehari setelah penobatan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono I tahun I755. Tradisi ini berlangsung sampai Sultan Hamengkubuwono ke VIII. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono ke IX, labuhan diadakan setelah ulang tahun Sultan. Kini, di masa Sultan Hamengkubuwono ke X, labuhan dilaksanakan seperti dulu lagi, yaitu sehari sesudah penobatannya menjadi raja. Labuhan diadakan setiap tahun pada tanggal 30 bulan Rejeb karena Sultan Hamengkubuwono X dinobatkan pada hari Selasa Wage tanggal 29 Rejeb tahun Wawu 1921 atau 7 Maret 1989. Berikut ini prosesi labuhan Sultan Hamengkubuwono X. Setibanya barang-barang labuhan atau sesaji di Parangkusumo, rombongan abdi dalem memasuki kompleks berpagar yang di dalamnya terletak Sela Gilang. Di atas batu inilah dulu Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul mengadakan pertemuan. Tempat itu diyakini sebagai pintu gerbang menuju kerajaan Kanjeng Ratu Kidul. Juru kunci yang memimpin pelaksanaan upacara membakar kemenyan, kemudian menanam kuku, rambut, dan pakaian bekas Sultan Hamengkubuwono X di pojok kompleks. Juru kunci membakar kemenyan lagi dan mengasapi ketiga ancak yang berisi barang labuhan lalu berangkat ke pantai untuk melabuhnya. Sekitar 10 langkah dari garis pantai, juru kunci duduk bersila menghadap ke laut melakukan sembah ke Kanjeng Ratu kidul sambil mengucapkan doa permohonan, ”Hamba mohon permisi, Gusti Kanjeng Ratu Kidul. Hamba memberikan labuhan cucu Paduka lngkang Sinuwun Kanjeng Sultan yang ke X di Ngayogyakarta Hadiningrat. Cucu paduka mohon pangestu, mohon keselamatan, mohon panjang usia, kemuliaan kerajaan, keselamatan negara di Ngayogyakarta Hadiningrat.” Ketiga ancak segera dibawa ke tengah laut untuk dilabuh. Ancak paling depan untuk dipersembahkan kepada Kanjeng Ratu Kidul, raja dari semua makhluk halus di Laut Selatan. Ancak kedua dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menjabat sebagai patih Kanjeng Ratu Kidul, dan ancak ketiga dipersembahkan kepada mBok Roro Kidul, pembantu kedua. Masyarakat yang menghadiri acara labuhan biasanya beramai-ramai memperebutkan sebagian dari benda labuhan yang dihanyutkan ombak ke pantai. Menurut kepercayaan, barang-barang yang masih baru akan hanyut ke dalam laut karena dipakai oleh Kanjeng Ratu Kidul, sedangkan barang-barang bekas seperti baju bekas Sultan dan bunga bekas sesaji akan kembali ke pantai. Menurut kepercayaan, barang-barang yang kembali terdampar di pantai tersebut mempunyai kekuatan gaib karena dikirim kembali oleh Kanjeng Ratu Kidul untuk mengatasi segala gangguan dan penyakit. Beberapa orang menjadikannya sebagai jimat. Jimat adalah suatu benda yang difungsikan sebagai pusaka dan dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk membantu pemiliknya menangkal gangguan alam. Yang mendapatkan benda-benda labuhan berharap akan beroleh kesejahteraan dan keberuntungan hidup. Upacara Adat Bekakak Bekakak disebut juga saparan bekakak. Bekakak berarti korban penyembelihan manusia atau hewan. Hanya saja, bekakak yang disembelih dalam upacara ini hanya tepung ketan yang dibentuk seperti pengantin laki-laki dan perempuan sedang duduk. Sebelum diarak untuk disembelih, pada malam sebelumnya diadakan upacara midodareni layaknya pengantin sejati. Menurut kepercayaan masyarakat, pada malam menjelang perkawinan, para bidadari turun ke bumi untuk memberi restu. Orang-orang begadang semalam suntuk demi menyambut kedatangan para bidadari tersebut. Pada siang hari, "pengantin" diarak dari Balai Desa Ambarketawang, Sleman, Yogyakarta ke Gunung Gamping. Ini adalah tempat Kyai Wirasuta, abdi dalem Sri Sultan HB I muksa, hilang tanpa bekas. Kyai Wirasuta adalah abdi dalem penongsong, abdi dalem pembawa payung ketika Sri Sultan HB I bepergian. Ketika Sultan pindah dari Ambarketawang ke keraton yang baru, abdi dalem ini tidak ikut pindah dan tetap tinggal di Gamping. Ia menjadi cikal-bakal penduduk di sana. Ia tinggal di dalam gua di bawah Gunung Gamping tersebut. Suatu hari, Jumat Kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan Sapar, menjelang purnama terjadi musibah yang menimpa Kyai Wirasuta sekeluarga. Gunung Gamping yang didiami runtuh. Kyai Wirasuta sekeluarga beserta hewan kesayangannya berupa landak, gemak, dan merpati terkubur di reruntuhan. Sri Sultan HB I segera memerintahkan untuk mencari jenazah mereka, tetapi tidak ditemukan. Maka Sultan memerintahkan para abdi dalem keraton supaya setahun sekali setiap bulan Sapar antara tanggal 10-20 untuk membuat selamatan dan ziarah ke Gunung Gamping dengan tujuan untuk mengenang jasa dan kesetiaan Ki Wirasuta sebagai abdi dalem yang loyal sampai akhir hayat. Penyembelihan bekakak dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan untuk para arwah atau danyang penunggu Gunung adalah agar mereka tidak mengambil korban manusia, sekaligus berkenan memberikan keselamatan kepada masyarakat yang menambang batu gambing di sana. Upacara Adat Rebo Wekasan Rebo wekasan merupakan suatu upacara tradisional yang terdapat di Desa Wonokromo, Pleret, Bantul. Letaknya sekitar 10 km dari Kota Yogyakarta. Rebo wekasan berasal dari kata rebo dan wekasan yang berarti hari Rabu terakhir bulan Sapar. Pada tahun 1600, Keraton Mataram yang berkedudukan di Pleret sedang dilanda penyakit atau pageblug. Sultan Agung sebagai raja Mataram sangat prihatin. Ia pergi bersemadi di Masjid Soko Tunggal di Desa Kerton. Dalam semadinya ia mendapat petunjuk dari Tuhan untuk membuat penolak bala guna mengusir wabah tersebut. Dipanggillah Kyai Sidik dari Wonokromo untuk membuat penolak bala. Jimat adalah penolak bala itu. Jimat tersebut berupa aksara Arab bertuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim sebanyak 124 baris dan dibungkus dengan kain mori putih. Oleh Sultan Agung, jimat tersebut direndam dalam bokor kencana dan diminumkan kepada orang yang sakit. Ternyata mereka sembuh. Semakin banyaklah orang yang datang meminta air tersebut. Lantaran tidak mencukupi untuk semua orang, maka Sultan Agung memerintah Kyai Sidik untuk membuang jimat tersebut ditempuran Sungai Opak dan Sungai Gajahwong. Berduyun-duyunlah orang berkunjung ke tempuran tersebut untuk membasuh muka, mandi, dan berendam agar mendapat keberuntungan. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I, Kyai Muhammad Fakih dititahkan untuk membuat masjid pathok negoro di Desa Wonokromo dengan nama Masjid at-Taqwa. Awalnya masjid tersebut terbuat dari anyaman bambu dengan atap dari anyaman daun alang-alang yang disebut welit. Karena keahliannya membuat welit maka masyarakat sekitar memanggilnya Kyai Welit. Dia juga meneruskan tradisi rebo wekasan pada Rabu terakhir bulan Sapar tahun 1754 atau 1837 M. Dia membuat kue lemper yang dibagikan ke masyarakat di sekitarnya. Menurutnya, kue lemper mengandung nilai filosofis. Kulit lemper dari daun pisang mengibaratkan segala hal yang dapat mengotori akidah, sehingga harus dibuang. Ketan ibarat kenikmatan duniawi. Isi lemper yang berupa daging cincangan ibarat kenikmatan akhirat. Jadi makan lemper bermakna bahwa orang yang ingin mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat harus bisa menghilangkan kotoran jiwa sehingga jadi bersih seperti lemper yang sudah dikupas. Peristiwa tersebut dianggap sebagai hari bersejarah bagi masyarakat Wonokromo sehingga diperingati setiap tahun. Upacara rebo wekasan dianggap sebagai pengingat bahwa telah terjadi musibah yang menelan banyak korban jiwa. Tradisi mengarak lemper diteruskan sampai sekarang dalam bentuk lemper raksasa sepanjang dua setengah meter dengan diameter setengah meter. Upacara Adat Siraman Kanjeng Kyai Jimat Upacara ini dimaksudkan sebagai bentuk pemuliaan terhadap benda-benda pusaka kerajaan yang mengandung nilai sejarah atau mempunyai nilai spiritual karena bertuah dan menyajikan persembahan makanan caos dahar berupa sesajen buat kereta pusaka Kanjeng Kyai Jimat diharapkan roh penunggu kereta memberikan keselamatan bagi keluarga keraton dan para kawula kerajaan. Acara ini diselenggarakan di museum kereta Pagedongan Rotowijayan, Keraton Yogyakarta. Biasanya, acara digelar pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon bulan Sura. Setelah diberi sesaji, kain penutup kereta dibuka untuk didorong dari tempatnya ke luar depan pintu Pagedogan. Bagian pertama yang dibersihkan adalah bagian depan kereta berupa patung putri duyung. Dilanjutkan bagian atap, terus ke belakang. Terakhir adalah bagian roda kereta. Asap dupa terus mengepul tiada henti menciptakan suasana magis. Seusai siraman, kereta Pusaka dikeringkan dengan kain lap. Perasan kain lap ditampung di dalam ember. Saat itulah, air perasan tadi menjadi rebutan masyarakat karena dipercaya mengandung kekuatan gaib untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Upacara Adat Nguras Enceh Enceh atau kong adalah gentong wadah air yang terbuat dari tanah liat. Ada empat buah enceh di halaman Supit Urang Istana Saptarengga, makam Sultan Agung. Dua buah enceh yang ada di sebelah timur menjadi wewenang Kasunanan Surakarta dan dua buah yang ada di sebelah barat menjadi wewenang Kesultanan Yogyakarta. Nama-nama enceh mulai dari timur ke barat adalah Nyai Siyem berasal dari negeri Siam atau Muangthai, Kyai Mendung berasal dari negeri Ngerum, Kyai Danumaya berasai dari Palembang, dan Nyai Danumurti berasal dari Aceh. Menurut abdi dalem Puralaya yang menjaga makam, enceh ini digunakan sebagai tempat wudu Sultan Agung ketika hendak menunaikan salat. Pada bulan Sura, hari Jumat Kliwon, banyak masyarakat yang mengikuti upacara pembersihan enceh. Mereka berebut mendapatkan air bekas cucian enceh. Ada juga yang caos dhahar dengan membawa kembang setaman dan membakar kemenyan. Mereka minta agar dikabulkan segala cita-citanya. Ada juga orang-orang tua yang membasuh mukanya dengan air enceh yang dipercaya dapat membuat awet muda dan menyembuhkan berbagai penyakit.
kebudayaan yogyakarta lengkap beserta gambar dan penjelasannya